Membahas tokoh-tokoh kerajaan di masa lampau, rasanya kita akan terbawa ke masa di mana banyak raja-raja sakti mandraguna yang berkuasa. Tak terkecuali Sri Baduga Maharaja, kesaktiannya sudah sangat melegenda di telinga masyarakat. Terlepas dari benar atau tidaknya kisah tersebut, tapi nyatanya tidak sedikit masyarakat yang percaya.
Sri Baduga Maharaja lebih dikenal dengan julukan Prabu Siliwangi saat ia menjadi raja dari Pakuan Padjajaran. Julukan tersebut berasal dari tokoh Prabu Wangi atau Prabu Linggabuana, Raja Sunda yang gugur dalam Perang Bubat. Siliwangi sendiri berasal dari kata silih yang artinya pengganti dan wawangi yang berarti pengganti Prabu Wangi
Prabu Siliwangi adalah seorang raja yang arif, bijaksana, serta konon sakti mandraguna. Ia terkenal gemar bermeditasi untuk meningkatkan kesaktiannya. Bahkan ia hampir tak pernah melewatkan kegemarannya itu walau sedang dalam pengembaraan.
Dalam sebuah kisah, diceritakan Sri Baduga hendak melepas penat saat mengembara di Curug Sawer, Majalengka. Tiba-tiba datang sekawanan macan putih ghaib yang hendak menyerang sang prabu. Berkat kesaktianyang dimiliki Prabu Siliwangi, tak ada satupun dari hewan tak kasat mata tersebut dapat melukainya.
Setelah melalui pertarungan yang cukup sengit, raja macan putih bisa dikalahkan oleh Sri Baduga. Semenjak kejadian itu, raja macan putih beserta seluruh pasukannya mulai mengabdi sang prabu. Sejumlah sumber menyebut bahwa kerajaan Pakuan Padjajaran mencapai masa keemasannya, selain karena kharisma Prabu Siliwangi juga berkat kesetiaan macan putih ghaib.
Sejak saat itu, pasukan ghaib kebanggan Padjajaran itu kerap dilibatkan dalam pertahanan kerajaan maupun saat mengkespansi wilayah sekitar. Sang prabu pun menyuruh Eyang Jaya untuk menciptakan tiga kujang keramat berbentuk harimau dengan warna yang berbeda-beda. Ada yang terbuat dari batu meteor ( hitam), ada yang terbuat dari api yang dibekukan (kuning), dan ada pula yang terbuat dari besi rendaman air suci (putih). Ketiga kujang tersebut dijuluki Tiga Serangkai.
Berdasarkan legenda, Prabu Siliwangi juga mewarisi kesaktian yang ia miliki pada anaknya, yaitu Raden Kian Santang. Namun karena kesakitan dari ayahnya tersebut, Kian Santang sering merenung karena tak ada satupun yang dapat menandingi kesaktiannya. Alkisah, seorang kakek yang ditemui Kian Santang memberi tahu bahwa di Mekkah ada seseorang bernama Sayyidina Ali yang dapat menandingi kesaktiannya.
Tujuh tahun berlalu, Kian Santang mendapatkan amanat untuk menyebarkan Islam dan kembali mengajak ayahnya untuk mengucap kalimat syahadat. Prabu Siliwangi pun memutuskan untuk melarikan diri dan mengubah istana Padjajaran menjadi hutan belantara. Kian Santang pun mengejar sang prabu bersama pengikutnya sampai ke hutan Sancang dan terjadilah pertempuran antara keduanya. Untuk menghindari perkelahian dengan anaknya, Prabu Siliwangi bersama pengikutnya memutuskan untuk moksa.
Kisah di atas menyisakan kontroversi di kalangan sejarawan. Sejumlah ahli menganggap kisah pertempuran tersebut tidak lebih dari sekedar mitos. Ini diyakini karena minimnya artefak dari Kerajaan Sunda sehingga timbul berbagai spekulasi.
Dilansir dari historia.id, arkeolog Universitas Indonesia, Agung Aris Munandar menyebut minimnya data dari Kerajaan Sunda kuno. Namun dirinya belum dapat mengatakan alasan minimnya data tersebut.
Legenda Prabu Siliwangi memang sudah tersohor seantero tanah air, namun untuk membuktikan kebenaran dari legenda tersebut perlu penelitan lebih lanjut dan mendalam. Saat ini, yang dapat diteladani dari Prabu Siliwangi adalah tekadnya agar tidak terjadi pertumpahan darah dengan keturunan sendiri.
Sumber : https://tapak.id/